ditulis oleh Marrysa Tunjung Sari
Bagi warga Jakarta yang berdomisili sekitar tahun 1958 hingga kini, Nasi Goreng Kebon Sirih tentunya bukan nama asing. Bahkan banyak dari mereka yang bepergian malam, menjadikan Kebon Sirih menjadi lokasi titik kumpul terakhir sebelum malam berakhir. Deretan mobil parkir dan orang berkumpul menikmati Jakarta dari tahun ke tahun dengan sepiring nasi goreng di tangan mereka.
Nasi goreng bisa dikatakan sebagai makanan nasional di Indonesia. Mengapa demikian? Sebab dari sekian banyak hidangan Indonesia, hanya sedikit yang dianggap sebagai makanan nasional sejati. Masakan yang tidak mengenal batasan kelas sosial. Nasi goreng dapat ditemukan di mana pun, mulai dari gerobak yang berpindah hingga hotel bintang 5 atau resort termahal sekalipun.
Banyak dari para pejalan bahkan menganggap nasi goreng adalah menu aman jika tidak yakin dengan makanan yang tersaji. Sulit rasanya menemukan nasi goreng yang gagal dari standar terendah sekalipun. Dalam perkembangannya saja, nasi goreng memiliki ragam yang begitu banyak sesuai dengan materi yang banyak tersedia. Misalkan saja nasi goreng ikan asin, ayam, kepiting, udang dan kambing. Mengutip wikipedia yang menyebutkan adanya polling internet oleh CNN Internasional yang diikuti 35.000 orang, menempatkan nasi goreng pada peringkat ke dua dalam daftar 50 Makanan Terlezat di Dunia setelah rendang.
Sejarahnya sendiri mencatat bahwa nasi adalah sebuah bagian penting dari masakan tradisional Tionghoa sejak 4000 SM. Nasi goreng lalu menyebar ke Asia Tenggara dengan adanya perantau dari Tionghoa. Perkembangan selanjutnya ada pada bumbu, cara menggoreng dan isian dari nasi goreng itu sendiri. Selain itu nasi goreng bisa disimpan dalam pendingin lalu kemudian kembali digoreng untuk disajikan. Sangat praktis dan dijamin kenyang.
Saat ingin menulis catatan tentang resep yang sudah berusia lebih dari setengah abad ini, penulis melihat tidak ada perubahan yang signifikan kecuali cara mereka membungkus dan memberi jenama (branding) baru berupa logo dan seragam. Untuk rasa dan porsi masih terasa sama sejak terakhir menikmati sepiring nasi goreng kambing legendaris tersebut. Menikmati rasa kari dengan sepiring acar segar membawa kenangan dari tahun ke tahun mengunjunginya.
Berjualan sejak tahun 1958 di Lokasi warung tenda jalan Kebon Sirih Barat I, Menteng, Jakarta Pusat. Nasi Goreng Kebon Sirih telah memanjakan rasa dan suasana kepada para penikmatnya. Lidah selalu terkenang akan rasa gurih dari olahan rempah-rempah dengan tambahan minyak samin. Resep yang dimulai dari Almarhum Haji Nein sungguh paham konsistensi rasa yang tertancap tajam. Hanya dengan menyebutkan namanya, para penikmat fanatik sudah bisa merasakan pada pangkal indra cecap.
H. Nein merintis usaha kuliner ini dari nol hingga sampai akhirnya besar seperti sekarang. Jumlah pengunjung yang terus bertambah, menginspirasi H. Nein untuk menambah cabang bahkan sebuah restoran yang letaknya tidak jauh dari lokasi tenda di Kebon Sirih. Cabang resminya tersebar seantero Jabodetabek. Informasi letak cabang resmi tertera pada spanduk menu makanan tertulis Menteng lebak Bulus dan Pasaraya Grande. Namun, Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih tidak membuka cabang di luar kota Jabodetabek.
Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih memiliki beberapa jenis menu, seperti nasi goreng, sop, dan sate kambing. Untuk yang tidak menyukai kambing, dapat memesan nasi goreng ayam bakso atau sosis, serta tersedia sate ayam. Bagi yang tidak punya waktu untuk menjelajah jauh ke arah Kebon Sirih bisa memesan lewat layanan antar aplikasi daring Grab. Setengah porsi nasi goreng kambing Rp37.000, satu porsi nasi goreng kambing Rp45.000, tetapi jika porsi normal masih tidak bisa memuaskan atau kamu ingin berbagi, silakan memesan porsi jumbo seharga Rp68.000.
Tertarik untuk menjajal rasa dari nasi goreng yang berusia lebih dari setengah abad? Cuss pesan layanan antar GrabFood. Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih resmi mulai buka dari pukul 10.00 WIB. Dijamin rasa aman rasa berada pada standar terbaik!
Tentang Penulis
Marrysa Tunjung Sari adalah fotografer profesional yang bekerja selama 6 tahun sebagai Editor in Chief untuk Linkers – Citilink Inflight Magazine serta jurnalis foto dan penulisan lepas bagi National Geography Indonesia (Travel). Mbak Sasha, demikian ia dipanggil, kerap mengajar kelas fotografi teknis, Travel Photo Story dan Streetfood Photography. Beberapa penghargaan Internasional dan nasional diperolehnya untuk karya foto dan cerita mengenai perjalanan atau travel photography.