Kata orang, Bandung tercipta ketika Tuhan sedang tersenyum. Bukan tanpa alasan, karena baik perempuan maupun laki-lakinya kebanyakan berparas rupawan. Tapi, nggak cuma itu, ada banyak sekali hal di Bandung yang bisa kita temukan dan akan selalu bikin kangen dengan kota tersebut.
Pertama kali ke Bandung, yang terlintas di pikiran adalah “Wah tempat nongkrongnya banyak banget ya.” Di sudut-sudut kota itu selalu ada saja tempat untuk hangout, atau seenggaknya buat update IG stories. Udara yang biasanya di bawah 27 derajat celcius, macet yang sudah cukup serius, dan aneka makanan di sana yang membius. Di antara jajanan dan tempat nongkrong di Bandung, ada beberapa warung yang cukup melegenda. Semacam legenda Tangkuban Perahu namun bukan gunung yang dibentuk, melainkan cerita sebuah rasa yang melekat dari dulu tanpa hingga.
“Gak mungkin deh ada makanan enak di gang kecil begini.”
Pikiran setiap orang ketika mendengar ada sebuah warung makan yang sangat enak namun berada di tempat yang sempit dan diredam tembok panjang pembatas gang. Saat itu udara memang cukup bikin menggigil, melewati Jalan Otto Iskandar Dinata di sore hari seperti petualangan mencari harta karun. Kamu tidak akan menyangka di ujung jalan sana ada sesuatu yang semua orang inginkan. Sesuatu yang katanya tak cuma meromantiskan lidah dan kuah, juga memberikan pengalaman yang sulit untuk dilepas dari ingatan.
Rumah Makan Lontong Kari Kebon Karet, plank dengan ukuran sedang terpampang di antara rumah dan tembok dalam jalanan kecil. Buka setiap hari pukul 7 pagi sampai 7 malam, sepertinya sang pemilik warung ini sangat suka angka tujuh, angka keberuntungannya mungkin?
“Saya pesan satu ya lontong karinya, sama teh manis hangat. Terima kasih.” sambil mengambil menunya kembali, pesanan tersebut dengan cekatan langsung diaminkan oleh sang pelayan. Ruangan yang cukup sempit dengan pernak-pernik foto yang dipajang di dinding tersebut, foto para pelanggan setia yang sudah pernah ke sini. Rasa penasaran membuncah begitu saja, karena banyak sekali yang membicarakan tempat makan lontong kari ini. Apakah rasanya sesuai ekspektasi? Atau malah melebihi? Atau bahkan tak sampai sama sekali? Entahlah, karena lontong kari itu masih disiapkan.
Sebuah nampan berukuran sedang dengan mangkuk dan gelas di atasnya yang mengepul datang menuju meja kami. Senyum tipis dan ucapan mempersilakan makan dari pelayan menutup rangkaian pengiriman lontong kari tersebut. Belum sempat menyicip sedikitpun, aromanya sudah membuat air liur tertelan tanpa sadar. Kutuangkan beberapa sendok sambal, karena apalah arti makanan tanpa rasa pedas, sedikit tambahan perasan jeruk nipis dan adukan searah jarum jam.
Satu suap, dua suap, dan seterusnya.
Saat kuah kari, lontong, dan daging bercumbu menjadi satu, lalu satu lahapan dienyahkan ke dalam mulut, saat itulah kata “melegenda” menurutku masih sangat terlalu wajar disematkan untuk warung ini. Ruangan yang sempit, akses yang cukup sulit, dan anak kecil sekitar yang membuat berisik, semuanya seakan lenyap begitu saja.
Entah mantra apa yang diberikan oleh sang pembuat makanan ini, kuahnya begitu kental, topping gurih yang tak asal, daging yang kenyal, ditambah duet maut antara emping dan kedelai. Rempah-rempah yang menyesap ke dalam lontong kari ini, menyempurnakan serangkaian bahan makanan yang ada.
Semua ditutup dengan tegukkan teh manis hangat yang sudah mulai mendingin. Akan terus kuingat Jalan Otto Iskandar Gang Kebon Karet no. 28 untuk menemui tempat makan ini. Jujur, Kari bukanlah makanan favoritku, tapi entah kenapa Lontong Kari Kebon Karet ini mampu mengubah persepsi itu.
Mungkin nanti ketika ke Bandung lagi, entah untuk bertemu orang yang spesial, atau hanya ingin staycation melepas penat sesaat, pesan Lontong Kari lewat GrabFood pagi-pagi merupakan rencana yang tak salah karena harganya yang cukup murah, hanya 23.000 rupiah.
Sepertinya semua masuk akal, karena Lontong Kari Kebon Karet adalah gambaran yang tepat untuk kalimat “Bandung tercipta ketika Tuhan sedang tersenyum”.